KORUPSI : PANDANGAN DAN SIKAP ISLAM
“Tidak ada penyebab ketidakadilan
dan kekejaman yang lebih besar daripada korupsi,
karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun negara.”
“Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil,
kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu…”
al-Qur'an, Surat an-Nisâ': 29
Salah satu kenyataan yang secara sadar dinilai buruk dan merusak, tetapi berulang kali dilakukan oleh banyak orang di negeri ini adalah “ korupsi ”. Bukan
tidak mau menghindar dan bertobat, melainkan jika tidak melakukannya
rasanya tidak wajar dan tidak memperoleh tambahan yang berarti dari yang
dilakukannya. Ini yang sering kali dijadikan alasan oleh “para koruptor” bahwa
korupsi itu bukan karena tindakan yang kotor melainkan sistem birokrasi
dan sistem pemerintahan kita mengkondisikan para birokrat, politisi,
dan semua yang bersentuhan dengan sistem itu untuk korupsi. Artinya “korupsi” di
negeri ini bukan lagi soal moral dan hukum semata, melainkan adalah
persoalan sistemikstruktural yang telah mengakar sedemikian rupa.
Hal lain yang menyebabkan korupsi tumbuh-subur di negeri ini adalah lemahnya penegakan hukum (law enforcement).
Hingga hari ini, belum ada koruptor meskipun jelas diketahui khalayak
dihukum setimpal dengan perbuatannya. Kalaupun ada yang dihukum (masih
bisa dihitung jari) dirasa oleh masyarakat masih belum adil. Selain
aturan hukum tentang korupsi tidak tegas, juga aparat penegak hukumnya
masih bisa dipermainkan dan ditukar-tukaruntuk tidak mengatakan “dibeli”.
Oleh
karenanya bisa dipahami jika keterpurukan Indonesia ke dalam
multikrisis ini dinilai oleh banyak pihak akibat korupsi yang terus
menerus dilakukan ke semua alokasi keuangan, termasuk ke dalam alokasi
dana bantuan presiden (banpres) dan dana-dana non-bugeter lainnya.
Tetapi dengan mencoba memahami ini, tidak berarti kita membiarkan
korupsi sebagai sesuatu yang wajar. Tulisan berikut tak bermaksud
menawarkan “jalan keluar” atas kompleksitas soal korupsi,
melainkan sekadar ingin menyodorkan pandangan-tegas Islam atas korupsi.
Pandangan ini rasanya penting dikemukakan ke hadapan publik selain ingin
menunjukkan ketegasan Islam anti korupsi, juga menyadarkan umat Islam
sendiri karena tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar
koruptor-koruptor di negeri ini adalah beragama Islam.
Apa itu Korupsi?
Sebelum mengkajinya lebih jauh, harus clear dulu makna dan tipologi korupsi. Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin corruptio (Fockema Andreae: 1951) atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Secara harfiah, korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Meskipun kurang tepat, korupsi seringkali disamakan sengan suap (risywah), yakni sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti suapan) agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya (abuse of power).” Suapan sendiri diartikan sebagai “hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).” Dalam kitab Hâsyiah Ibn 'Abidin, suapan (risywah) dipahami sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim, pejabat pemerintah atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya.
Dalam
konteks untuk memperoleh kebebasan politik, prakarsa perorangan,
transparansi, dan perlindungan hak-hak warga negara terhadap otoritas
negara yang otoriter, Syed Hussein Alatas dalam Corruption Its Nature, Causes and Functions membedakan tujuh tipologi korupsi yang berkembang selama ini. Pertama, transactive corruption, yakni
korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak
penyuap dan penerima suap demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan
aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.
Tipologi ini umumnya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dan pemerintah. Kedua, extortive corruption (korupsi
yang memeras), yakni pihak pemberi dipaksa untuk menyuap agar mencegah
kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, dan hal-hal yang
dihargainya. Ketiga, investive corruption, yakni
korupsi dalam bentuk pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian
langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibanyangkan
akan diperoleh di masa yang akan datang. Tipe keempat adalah supportive corruption, korupsi
yang secara tidak langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam
bentuk lain untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada. Kelima, nepostistic corruption, yakni
korupsi yang menunjukkan tidak sahnya teman atau sanak famili untuk
memegang jabatan dalam pemerintahan atau perilaku yang memberi tindakan
yang mengutamakan dalam bentuk uang atau lainnya kepada teman atau sanak
famili secara bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku. Keenam, defensive corruption, yakni
perilaku korban korupsi dengan pemerasan untuk mempertahankan diri.
George L. Yaney menjelaskan bahwa pada abad 18 dan 19, para petani Rusia
menyuap para pejabat untuk melindungi kepentingan mereka. Tipe ini
bukan pelaku korupsi, karena perbuatan orang yang diperas bukanlah
korupsi. Hanya perbuatan pelaku yang memeras sajalah yang disebut
korupsi. Terakhir, autogenic corruption adalah korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri.
Pada
esensinya korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang
mengkhianati kepercayaan. Jika kita pegangi pengertian ini, maka tradisi
korupsi telah merambah ke seluruh dimensi kehidupan manusia secara
sistematis, sehingga masalah korupsi merupakan masalah yang bersifat
lintas-sistemik dan melekat pada semua sistem sosial, baik sistem
feodalisme, kapitalisme, komunisme, maupun sosialisme.
Pandangan dan Sikap Islam
Pandangan dan sikap Islam terhadap korupsi sangat tegas: haram dan melarang. Banyak argumen mengapa korupsi dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara prinsip bertentangan dengan misi sosial Islam yang ingin menegakkan keadilan sosial dan kemaslahatan semesta (iqâmat al-'adâlah alijtimâ'iyyah wa al-mashlahat al-'âmmah), korupsi juga dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari amanat yang diterima dan pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem yang akuntabel. Oleh karena itu, baik al- Qur'an, al-Hadits maupun ijmâ' al- 'ulamâ menunjukkan pelarangannya secara tegas (sharih).
Dalam
al-Qur'an, misalnya, dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (cara
berbuat) dosa padahal kamu mengetahui.” Dalam ayat yang lain disebutkan:
“Hai orangorang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu…” Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret
lagi, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknati penyuap
dan penerima suap dalam proses hukum.” Dalam redaksi lain, dinyatakan:
“Rasulullah SAW melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari
keduanya.” Kemudian dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah SAW
bersabda: “penyuap dan penerima suap itu masuk ke neraka.”
Dalam sejarah, baik para sahabat Nabi, generasi sesudahnya (tabi'in), maupun
para ulama periode sesudahnya, semuanya bersepakat tanpa khilaf atas
keharaman korupsi, baik bagi penyuap, penerima suap maupun perantaranya.
Meski ada perbedaan sedikit mengenai kriteria kecenderungan mendekati
korupsi sebab implikasi yang ditimbulkannya, tetapi prinsip dasar hukum
korupsi adalah haram dan dilarang.
Ini
artinya, secara mendasar, Islam memang sangat anti korupsi. Yang
dilarang dalam Islam bukan saja perilaku korupnya, melainkan juga pada
setiap pihak yang ikut terlibat dalam kerangka terjadinya tindakan
korupsi itu. Bahkan kasus manipulasi dan pemerasan juga dilarang secara
tegas, dan masuk dalam tindakan korupsi. Ibn Qudamah dalam al-Mughnî
menjelaskan bahwa “memakan makanan haram” itu identik dengan korupsi.
Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf juga menyebut hal yang sama. Umar
Ibn Khaththab berkata: “menyuap seorang hakim” adalah tindakan korupsi.
Dalam
sejarah Islam sering dikutip kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, salah
seorang Khalifah Bani Umayyah, sebagai prototipe Muslim anti korupsi.
Umar bin Abdul Aziz adalah figur extra-ordernary, suatu figur unik di
tengah-tengah para pemimpin yang korup dalam komunitas istana. Ia sangat
ketat mempertimbangkan dan memilahmilah antara fasilitas negara dengan
fasilitas pribadi dan keluarga. Keduanya tidak pernah dan tidak boleh
dipertukarkan (changeble). “Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul
Aziz berada di kamar istana melakukan sesuatu berkaitan dengan urusan
negara. Tiba-tiba salah seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemui
bapaknya. Sebeum masuk, ditanya oleh Khalifah, “Ada apa Anda malam-malam
ke sini?” “Ada yang ingin dibicarakan dengan bapak”, jawab anaknya.
“Urusan keluarga atau urusan negara?” tanya balik Khalifah. “Urusan
keluarga,” tegas anaknya. Seketika itu, Khalifah mematikan lampu
kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. “Lho, kok lampunya dimatikan,”
tanya anaknya sambil keheranan. “Ini lampu negara, sementara kita mau
membicarakan urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan
fasilitas negara,” demikian jawab Kh alifah. Sang anakpun mengiyakannya.
Itulah
sekelumit cerita tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam upayanya
untuk menegakkan good qovernance, melalui sikap-sikap yang akuntabel dan
menghindari pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan diri,
kelompok, dan keluarganya. Adakah pemimpin sekarang seperti Umar bin
Abdul Aziz?
*) Penulis adalah Sekretaris Dewan Kebijakan Fahmina-institute Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar