Rabu, 12 Desember 2012

BAHAYA KORUPSI

 KORUPSI : PANDANGAN DAN SIKAP ISLAM

“Tidak ada penyebab ketidakadilan
dan kekejaman yang lebih besar daripada korupsi,
karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun negara.”

Sari Mehmed Pasha
“Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil,
kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu…”

al-Qur'an, Surat an-Nisâ': 29

Salah satu kenyataan yang secara sadar dinilai buruk dan merusak, tetapi berulang kali dilakukan oleh banyak orang di negeri ini adalah “ korupsi ”. Bukan tidak mau menghindar dan bertobat, melainkan jika tidak melakukannya rasanya tidak wajar dan tidak memperoleh tambahan yang berarti dari yang dilakukannya. Ini yang sering kali dijadikan alasan oleh “para koruptor” bahwa korupsi itu bukan karena tindakan yang kotor melainkan sistem birokrasi dan sistem pemerintahan kita mengkondisikan para birokrat, politisi, dan semua yang bersentuhan dengan sistem itu untuk korupsi. Artinya “korupsi” di negeri ini bukan lagi soal moral dan hukum semata, melainkan adalah persoalan sistemikstruktural yang telah mengakar sedemikian rupa.
Hal lain yang menyebabkan korupsi tumbuh-subur di negeri ini adalah lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Hingga hari ini, belum ada koruptor meskipun jelas diketahui khalayak dihukum setimpal dengan perbuatannya. Kalaupun ada yang dihukum (masih bisa dihitung jari) dirasa oleh masyarakat masih belum adil. Selain aturan hukum tentang korupsi tidak tegas, juga aparat penegak hukumnya masih bisa dipermainkan dan ditukar-tukaruntuk tidak mengatakan “dibeli”.
Oleh karenanya bisa dipahami jika keterpurukan Indonesia ke dalam multikrisis ini dinilai oleh banyak pihak akibat korupsi yang terus menerus dilakukan ke semua alokasi keuangan, termasuk ke dalam alokasi dana bantuan presiden (banpres) dan dana-dana non-bugeter lainnya. Tetapi dengan mencoba memahami ini, tidak berarti kita membiarkan korupsi sebagai sesuatu yang wajar. Tulisan berikut tak bermaksud menawarkan “jalan keluar” atas kompleksitas soal korupsi, melainkan sekadar ingin menyodorkan pandangan-tegas Islam atas korupsi. Pandangan ini rasanya penting dikemukakan ke hadapan publik selain ingin menunjukkan ketegasan Islam anti korupsi, juga menyadarkan umat Islam sendiri karena tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar koruptor-koruptor di negeri ini adalah beragama Islam.

Apa itu Korupsi?
Sebelum mengkajinya lebih jauh, harus clear dulu makna dan tipologi korupsi. Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin corruptio (Fockema Andreae: 1951) atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Secara harfiah, korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Meskipun kurang tepat, korupsi seringkali disamakan sengan suap (risywah), yakni sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti suapan) agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya (abuse of power).” Suapan sendiri diartikan sebagai “hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).” Dalam kitab Hâsyiah Ibn 'Abidin, suapan (risywah) dipahami sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim, pejabat pemerintah atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya.
Dalam konteks untuk memperoleh kebebasan politik, prakarsa perorangan, transparansi, dan perlindungan hak-hak warga negara terhadap otoritas negara yang otoriter, Syed Hussein Alatas dalam Corruption Its Nature, Causes and Functions membedakan tujuh tipologi korupsi yang berkembang selama ini. Pertama, transactive corruption, yakni korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak penyuap dan penerima suap demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.
Tipologi ini umumnya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dan pemerintah. Kedua, extortive corruption (korupsi yang memeras), yakni pihak pemberi dipaksa untuk menyuap agar mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, dan hal-hal yang dihargainya. Ketiga, investive corruption, yakni korupsi dalam bentuk pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibanyangkan akan diperoleh di masa yang akan datang. Tipe keempat adalah supportive corruption, korupsi yang secara tidak langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada. Kelima, nepostistic corruption, yakni korupsi yang menunjukkan tidak sahnya teman atau sanak famili untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau perilaku yang memberi tindakan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau lainnya kepada teman atau sanak famili secara bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku. Keenam, defensive corruption, yakni perilaku korban korupsi dengan pemerasan untuk mempertahankan diri. George L. Yaney menjelaskan bahwa pada abad 18 dan 19, para petani Rusia menyuap para pejabat untuk melindungi kepentingan mereka. Tipe ini bukan pelaku korupsi, karena perbuatan orang yang diperas bukanlah korupsi. Hanya perbuatan pelaku yang memeras sajalah yang disebut korupsi. Terakhir, autogenic corruption adalah korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri.
Pada esensinya korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Jika kita pegangi pengertian ini, maka tradisi korupsi telah merambah ke seluruh dimensi kehidupan manusia secara sistematis, sehingga masalah korupsi merupakan masalah yang bersifat lintas-sistemik dan melekat pada semua sistem sosial, baik sistem feodalisme, kapitalisme, komunisme, maupun sosialisme.

Pandangan dan Sikap Islam
Pandangan dan sikap Islam terhadap korupsi sangat tegas: haram dan melarang. Banyak argumen mengapa korupsi dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara prinsip bertentangan dengan misi sosial Islam yang ingin menegakkan keadilan sosial dan kemaslahatan semesta (iqâmat al-'adâlah alijtimâ'iyyah wa al-mashlahat al-'âmmah), korupsi juga dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari amanat yang diterima dan pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem yang akuntabel. Oleh karena itu, baik al- Qur'an, al-Hadits maupun ijmâ' al- 'ulamâ menunjukkan pelarangannya secara tegas (sharih).
Dalam al-Qur'an, misalnya, dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa padahal kamu mengetahui.” Dalam ayat yang lain disebutkan: “Hai orangorang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…” Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum.” Dalam redaksi lain, dinyatakan: “Rasulullah SAW melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya.” Kemudian dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah SAW bersabda: “penyuap dan penerima suap itu masuk ke neraka.”
Dalam sejarah, baik para sahabat Nabi, generasi sesudahnya (tabi'in), maupun para ulama periode sesudahnya, semuanya bersepakat tanpa khilaf atas keharaman korupsi, baik bagi penyuap, penerima suap maupun perantaranya. Meski ada perbedaan sedikit mengenai kriteria kecenderungan mendekati korupsi sebab implikasi yang ditimbulkannya, tetapi prinsip dasar hukum korupsi adalah haram dan dilarang.
Ini artinya, secara mendasar, Islam memang sangat anti korupsi. Yang dilarang dalam Islam bukan saja perilaku korupnya, melainkan juga pada setiap pihak yang ikut terlibat dalam kerangka terjadinya tindakan korupsi itu. Bahkan kasus manipulasi dan pemerasan juga dilarang secara tegas, dan masuk dalam tindakan korupsi. Ibn Qudamah dalam al-Mughnî menjelaskan bahwa “memakan makanan haram” itu identik dengan korupsi. Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf juga menyebut hal yang sama. Umar Ibn Khaththab berkata: “menyuap seorang hakim” adalah tindakan korupsi.
Dalam sejarah Islam sering dikutip kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Bani Umayyah, sebagai prototipe Muslim anti korupsi. Umar bin Abdul Aziz adalah figur extra-ordernary, suatu figur unik di tengah-tengah para pemimpin yang korup dalam komunitas istana. Ia sangat ketat mempertimbangkan dan memilahmilah antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga. Keduanya tidak pernah dan tidak boleh dipertukarkan (changeble). “Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berada di kamar istana melakukan sesuatu berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba salah seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemui bapaknya. Sebeum masuk, ditanya oleh Khalifah, “Ada apa Anda malam-malam ke sini?” “Ada yang ingin dibicarakan dengan bapak”, jawab anaknya. “Urusan keluarga atau urusan negara?” tanya balik Khalifah. “Urusan keluarga,” tegas anaknya. Seketika itu, Khalifah mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. “Lho, kok lampunya dimatikan,” tanya anaknya sambil keheranan. “Ini lampu negara, sementara kita mau membicarakan urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” demikian jawab Kh alifah. Sang anakpun mengiyakannya.
Itulah sekelumit cerita tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam upayanya untuk menegakkan good qovernance, melalui sikap-sikap yang akuntabel dan menghindari pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan diri, kelompok, dan keluarganya. Adakah pemimpin sekarang seperti Umar bin Abdul Aziz?
*) Penulis adalah Sekretaris Dewan Kebijakan Fahmina-institute Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar