ABEL XAVIER :
UMUMKAN KEISLAMANNYA
SAAT MUNDUR DARI LAPANGAN BOLA
Bila
Anda penggemar sepakbola dan sempat menyaksikan pertandingan semifinal Piala
Eropa 2000 antara Portugal vs Prancis, pasti tidak akan lupa pada peristwa
handsball kontroversial di kotak penalti yang dilakukan oleh pemain Portugal
yang menyebabkan tim tersebut tersingkir dari perhelatan sepakbola
negara-negara Eropa tersebut secara tragis. Pemain Portugal tersebut tak lain adalah
Abel Xavier.
Sosok
Abel Xavier diingat bukan hanya karena permainannya di lapangan hijau, namun
juga karena penampilannya yang terbilang nyentrik. Bek asal Portugal ini
memang dikenal senang menata rambutnya. Selama merumput di lapangan hijau, ia
pernah tampil dengan rambut vysvetlennye dan jambang berwarna blonde. Di lain
kesempatan, ia mengecat jambang dan rambutnya dengan warna putih dan tetap
menyisakan warna hitam di bagian akar rambutnya. Dan, di penghujung karirnya
sebagai pesepakbola, lagi-lagi ia membuat gempar para pecinta sepakbola dunia
dengan pengakuannya bahwa dirinya telah menjadi seorang mualaf pada pertengahan
Desember 2009 silam. Ia pun mengganti namanya dengan Faisal Xavier.
Abel
Luis da Silva Costa Xavier atau lebih dikenal dengan Abel Xavier lahir pada 30 November 1972 di
Mozambik. Ia memulai karir sebagai pesepakbola profesional saat bergabung
bersama Estrela da Amadora pada usia 18 tahun. Tiga tahun kemudian ia bergabung
dengan SL Benfica, klub sepakbola yang bermain di ajang liga utama kompetisi
sepakbola Portugal.
Ia merumput bersama Benfica selama dua musim (1993-1995). Di klub elite
tersebut Xavier berhasil membawa klub berjuluk The Eagle ini menjadi juara Liga
Portugal.
Talenta
yang hebat sebagai defender membuat banyak klub Eropa tertarik padanya. Namun,
ia lebih memilih bergabung bersama AS Bari,
sebuah klub gurem di Liga Serie A Italia. Saat membela Bari, karir Xavier tidak begitu cemerlang
sehingga ia dijual oleh klubnya ke klub La Liga Spanyol Real Oviedo pada 1996.
Di klub barunya ini Xavier tidak bertahan lama. Pada tahun 1998, klub sepakbola
asal Negeri Belanda, PSV Eindhoven, memboyongnya. Lagi-lagi Xavier tidak
bertahan lama merumput di Belanda. Ia kemudian mencoba peruntungannya di ajang
Liga Primer Inggris. Ia tercatat pernah membela Everton FC (1999-2002) dan
Liverpool FC (2002-2003). Saat terikat kontrak dengan Liverpool,
Xavier sempat bermain bersama klub sepakbola asal Turki, Galatasaray SK,
dengan status sebagai pemain pinjaman.
Xavier
juga sempat mencicipi kompetisi Bundesliga selama satu musim (2003-2004)
bersama Hannover 96. Ia kemudian memilih bergabung dengan AS Roma (2005) dan
Middlesbrough FC (2005-2007) sebelum akhirnya hijrah ke Amerika Serikat pada
tahun 2007. Di Negeri Paman Sam ini ia bergabung dengan klub MLS (Major League Soccer) yang pernah mengontrak
David Beckhan, Los Angeles
(LA) Galaxy. Keputusan Xavier meninggalkan Middlesbrough
dikarenakan ingin mencari tantangan baru dan menolak tawaran kontrak baru dari
Boro. Kepindahannya ke Amerika Serikat pun sangat disayangkan beberapa klub di
Inggris mengingat persepakbolaan Amerika Serikat masih dalam tahap berkembang.
Keputusannya tersebut dinilai justru akan mengakhiri karir sepakbola Xavier.
Kekhawatiran
banyak pihak bahwa karir Xavier akan berakhir di LA Galaxy terbukti adanya.
Setelah bermain selama satu musim, manajemen LA Galaxy memutuskan untuk tidak
memperpanjang kontrak Xavier menyusul perselisihan yang terjadi antara dirinya
dengan sang pelatih Ruud Gullit.
Perselisihan
antara pemain dan pelatih ini bermula dari keputusan Gullit yang mendatangkan
pemain baru untuk mengisi posisi yang ditempati Xavier. Pemain tersebut aadalah
Eduardo Dominguez yang berasal dari klub Liga Klausura (Liga Argentina),
Huracan. Kepada kantor berita Associated Press (AP), Xavier mengungkapkan bahwa
dia merasa kecewa terhadap keputusan Gullit. Seperti dilansir AP, Xavier
berkata, "Gullit melakukan hal yang saya anggap sangat arogan. Sebagai
pemain, dia tergolong hebat. Namun sebagai pelatih, dia bukan apa-apa."
Mempelajari
Islam
Setelah
dikeluarkan dari LA Galaxy, Xavier kesulitan mencari klub sehingga ia pun
otomatis tidak lagi merumput di lapangan hijau. Hal tersebut tentu saja membuat
hidupnya makin terpuruk. Dalam keadaan terpuruk, Xavier mengaku menemukan
kenyamanan dalam Islam. Dia pun akhirnya memutuskan untuk mempelajari Islam.
''Pada
saat-saat sedih, saya telah menemukan kenyamanan dalam Islam. Perlahan-lahan,
saya belajar agama yang mengedepankan perdamaian, kesetaraan, kebebasan dan
harapan ini,'' paparnya.
Pada
tanggal 23 Desember 2009, dalam sebuah konferensi pers yang digelar di stadion
Ras Al Khaimah di Uni Emirat Arab, Xavier mengumumkan perihal keislamannya dan
nama barunya, Faisal Xavier. Dalam konferensi pers tersebut, ia juga
mengumumkanpengunduran dirinya dari lapangan hijau untuk selamanya. ''Ini
perpisahan emosional dan saya berharap untuk ikut serta dalam sesuatu yang
sangat memuaskan dalam babak baru hidup saya,'' kata Faisal.
Faisal
tidak bercerita lebih panjang mengenai bagaimana dirinya mempelajari Islam. Ia
hanya berterima kasih kepada keluarga besar Kerajaan Uni Emirat Arab. ''Mereka
memeluk saya dan membuat saya merasa istimewa.'' Interaksinya dengan keluarga
kerajaan Uni Emirat Arab semakin membuka matanya dalam menilai Islam.
Keputusannya
ini menjadi berita besar di berbagai media massa dunia. Meski berat harus meninggalkan
dunia yang telah memberinya limpahan materi dan ketenaran, Faisal mengaku
ikhlas. Ia pun merasa berutang budi karena hidupnya sekarang yang boleh
dikatakan berhasil. Apalagi setelah pindah agama dan menjadi seorang muslim, dia
belajar banyak hal tentang kepedulian, perhatian, dan empati kepada sesama.
Menjadi seorang muslim baginya adalah menjadikan dirinya bermanfaat bagi
kehidupan untuk sesama. Setelah tidak lagi bermain bola, Xavier kini mengisi
hidupnya dengan melakukan berbagai kegiatan amal serta aktif di berbagai
kegiatan kemanusiaan. Salah satunya dengan ikut ambil bagian dalam
proyek-proyek kemanusiaan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
yang akan bermanfaat bagi kehidupan jutaan orang di Afrika. Disamping ia juga
bekerja dalam industri film Amerika Serikat (AS).
sumber : republika
Nud
Valdemar : Muallaf Denmark
Berjihad Di Libya
nud
Valdemar Gylding Holmboe lahir pada 22 April 1902, sebagai anak tertua dari keluarga pedagang
yang terpandang di kota
Horsens, Denmark. Sejak remaja, Knud sudah
tertarik dengan ilmu filsafat dan agama dan dalam usia muda, Knud sudah bekerja
sebagai wartawan magang dan menulis untuk sejumlah koran lokal di Denmark. Pada
usia 20 tahun, Knud menyatakan memeluk agama Katolik dan tinggal di sebuah
seminari di Clairvaux, Prancis. Dengan cepat ia membaur dalam kehidupan biara
dan ingin memperdalam ilmu agamanya ke tempat lain. Tahun 1924, ia pun pergi ke
Maroko dan di negara inilah ia malah mengenal Islam.
Knud
sering menemui seorang syaikh di sebuah masjid kecil di kawasan pegunungan di
negara itu. Dari pertemuan-pertemuan itu, Knud menyadari bahwa hatinya terpaut
pada Islam. Setahun kemudian, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Pulang
ke Denmark,
Knud menerbitkan buku pertamanya "Poems" berisi tulisan-tulisannya
tentang kematian, kehidupan, keyakinan dan gurun pasir. Tak lama setelah buku
pertama, Knud menerbitkan buku tentang pengalamannya selama tinggal di Maroko
berjudul "Between the Devil and The Deep Sea – a dash by plane to seething
Morocco”.
Tahun
1925, Knud melakukan perjalanan ke Timur Tengah, mulai dari Suriah, Palestina,
Yordania, Irak dan Persia.
Ia menyaksikan sendiri pertikaian politik di Baghdad dan Palestina, yang menjadi cikal
bakal ketidakstabilan situasi Timur Tengah hingga sekarang. Setelah Timur
Tengah, pada tahun 1927, ia mengunjungi kawasan Balkan bersama isterinya yang
baru dinikahinya. Di Albania,
ia menyaksikan bagaimana
orang-orang Italia menindas komunitas Muslim. Knud menulis dan mengirimkan
banyak artikel serta foto apa yang ia saksikan di Albania ke media massa di Denmark. Salah satunya yang memicu
kontroversial adalah artikel Knud tentang tindakan penguasa Italia menggantung
seorang pendeta Katolik terkemuka Albania. Cerita itu menyebar ke
seluruh Eropa dan membuat otoritas Italia marah besar.
Saat
kembali ke Denmark,
Knud mencoba keberuntungannya dengan menjadi editor di sebuah koran lokal. Tapi
kesulitan ekonomi membuatnya memilih meninggalkan Denmark. Bersama istrinya, Nora dan
puterinya, Aisha, Knud pindah ke Maroko. Knud juga mengganti namanya menjadi
Ali Ahmed El Gheseiri, yang merupakan terjemahan bebas nama asli Knud ke dalam
bahasa Arab.
Ikut
Jihad Melawan Italia
Tahun
1930, Knud melakukan perjalanan yang membuatnya menjadi terkenal. Dengan menggunakan
mobil Chevrolet Model 1929 dari Maroko melintasi gurun Sahara
menuju Mesir. Saat melewati Libya,
Knud lagi-lagi menyaksikan perlakun buruk penguasa Italia yang saat itu
menjajah Libya,
terhadap masyarakat Muslim di negeri itu. Orang-orang Italia itu menggantung,
mengeksekusi, menyerang, menyiksa penduduk Muslim serta merusak sumber nafkah
mereka sehingga penduduk Muslim di Libya hidup dalam kemiskinan.. Knud menulis
dan mengambil foto-foto apa yang disaksikannya di Libya.
Pengusa
Italia di Libya tidak tinggal diam. Mereka menangkap Knud di kota Derna dan mengusir Knud dari Libya. Sejak
itu, Knud memutuskan untuk bergabung dengan gerakan perlawanan rakyat Libya yang
dipimpin oleh Syaikh Omar Al-Mokhtar. Knud tetap melanjutkan perjalanannya ke
Mesir. Di negeri Piramida itu, ia berjuang keras meyakinkan masyarakat Muslim
di Mesir untuk membantu jihad muslim Libya melawan penjajahan Italia.
Knud sedang bersiap-siap membawa bantuan dengan karavan ke kota Al-Kufra,
Libya, ketika
duta besar Italia untuk Mesir meminta otoritas Inggris dan Mesir menangkap dan
menjebloskan Knud ke penjara. Sebulan lamanya ia mendekam di penjara, lalu
dipulangkan dengan kapal laut ke negara asalnya, Denmark.
Di
Denmark, Knud menuliskan kekejaman penjajahan Italia di Libya dalam
bukunya “Desert Encounter", yang dengan cepat menjadi buku terlaris di Denmark dan
beberapa negara Eropa lainnya, serta di AS. Di Italia, buku itu dinyatakan
terlarang hingga tahun 2004. Pemerintah Italia menghabiskan dana ribuan dollar
untuk melakukan kampanye hitam terhadap buku Knud tersebut dan memanfaatkan
media massa di
Italia untuk membantah semua tulisan-tulisan Knud tentang kejahatan perang
Italia di Libya.
Tahun
1931, Knud kembali melakukan perjalanan. Kali ini ia berencana ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanannya, ia menyempatkan diri bertemu
dengan para pemimpin dan tokoh perlawanan Libya yang diasingkan ke Turki,
Yordania dan Suriah. Saat berada di Suriah, masyarakat Arab sedang melakukan
demonstrasi besar-besaran di depan kantor konsulat Italia di Damaskus.
Lagi-lagi Knud diusir dari Suriah. Knud boleh masuk ke Yordania dan melanjutkan
perjalanannya ke Mekkah, setelah kantor konsulat Denmark di Istanbul
menyampaikan proters keras atas perlakuan terhadap Knud.
Dibunuh
Saat Menuju Mekkah
Pemerintah
Italia masih menyimpan rasa khawatir terhadap Knud. Mereka takut Knud akan
menyerukan jihad melawan Italia sesampainya di Mekkah. Untuk itu, Italia
melakukan berbagai cara untuk mencegah Knud agar tak sampai ke Mekkah. Knud
mengalami berbagai macam percobaan pembunuhan ketika masih berada di Amman, Yordania. Namun
Knud tetap pada rencananya semula untuk pergi ke Mekkah. Ia membeli seekor unta
dan melanjutkan perjalanannya ke Aqaba. Di sini, ia harus menunggu izin masuk
ke wilayah Kerajaan Saudi.
Tanggal
11 Oktober 1931, Knud meninggalkan untanya di dekat perbatasan Saudi. Ia konon
sedang bermalam di dekat oasis Haql ketika sekelompok suku Arab Badui
mendatanginya. Suku di Saudi itu dikenal sebagai sekutu orang-orang Italia yang
menguasai wilayah itu. Mereka menyuruh Knud untuk melanjutkan perjalanan
sendirian dan di tengah jalan antara Al-Haql dan Humayda, Knud diserang dan
disergap. Tapi malam itu juga, Knud berhasil meloloskan diri, ia berenang
menjauhi bibir pantai. Saat kelelahan dan terdapar di sebuah pesisir pantai,
suku Arab Badui menemukan Knud dan langsung menembaknya hingga tewas. Usia Knud
saat itu baru 29 tahun. Jenazahnya dikubur di dekat pantai.
Petugas
perbatasan Yordania Arif Saleem berusaha mengejar seorang syaikh, pemimpin
kelompok yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan terhadap Knud. Saleem
berhasil menangkapnya di wilayah Aqaba dan menginterogasinya selama beberapa
jam. Tapi atas perintah komandan pasukan Inggris John Glubb, syaikh itu
akhirnya dibebaskan. Beberapa bulan kemudian, tersiar kabar bahwa sejumlah
anggota suku yang membunuh Knud, melakukan bunuh diri massal ketika
tentara-tentara yang setia dengan Raja Ibnu Saud menghancurkan kamp-kamp
mereka. Tulisan, buku-buku dan foto-foto karya Knud menjadi warisan bersejarah
yang sangat penting. Setelah Perang Dunia II usai, Italia diseret ke pengadilan
internasional, tapi masyarakat Muslim di Libya tidak pernah menerima kompensasi
atas kekejaman yang dilakukan pemerintah Italia selama menjajah Libya. Jenazah Knud
juga tidak pernah dipulangkan ke Denmark.
sumber : eramuslim
“Kalah” Melawan Al Qur’an, Dr Jeffrey Lang Menerima Islam
Sejak
kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin tahu. Ia kerap mempertanyakan logika
sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional. “Ayah, surga itu
ada?” tanya Jeffrey kecil. Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys
High, sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap
keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya,
dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan.
“Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah
keberadaan Tuhan di usia 18 tahun. Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada
usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani
kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam. Adalah beberapa saat
sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah
mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu : Kami berada dalam
sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang
berwarna putih agak abu-abu. Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola
dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada
sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas
dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu. Kami
membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita,
dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa
asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami
menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening,
bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit
kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di
depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia
berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah
putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah.
Saat itulah saya terbangun.
Sepanjang
sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang
sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman
saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada
logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang. Sepuluh
tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco,
dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid,
Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid.
Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan
keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga
sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey. Kendati tak sedang berniat
mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu
kepalanya dipenuhi berbagai prasangka. “Anda tak bisa hanya membaca Alquran,
tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang
benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap
Jeffrey. Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang
sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia
(Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal
ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang
berseberangan.” “Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ
menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang
diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca
pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun
selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman
demi halaman Alquran secara berurutan. “Alquran selalu jauh di depan pemikiran
saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab
pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan
pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke
sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.” Saat itu awal 1980-an dan tak
banyak Muslim di kampusnya, University
of San Fransisco. Jeffrey
mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah
mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia
memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa
jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Usai
syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk berpartisipasi. Ia
berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama
Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah. Jeffrey ikut
bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan
hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua
sujud. “Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri
saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya.
Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang
(scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.”
“Mimpi
itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar
melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah
saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan
apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan,
ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari
dalam. Air mata saya bercucuran.” Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti.
Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya
yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada
di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.
Jeffrey
Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu
selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan
untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar
Jeffrey kini. Jeffrey kini professor jurusan matematika University of Kansas
dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS:
Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997);
dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah
di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.
Ia
memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa
keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan
yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh
anak perempuannya yang berusia delapan tahun, Jameelah, usai mereka shalat
Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita shalat?” “Pertanyaannya mengejutkan saya.
Tak sangka berasal dari anak usia delapan tahun. Saya tahu memang jawaban yang
paling jelas, bahwa Muslim diwajibkan shalat. Tapi, saya tak ingin membuang
kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun,
usai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita shalat karena Tuhan
ingin kita melakukannya’,” “Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?” Jameela
kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari,
jika kamu melakukan shalat lima
waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang
terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.”
Sumber: republika
Bilal
Philips,
MANTAN
“DEWA GITAR” YANG KINI MENYERUKAN ISLAM
Dulu, Bilal Philips pernah dijuluki
"Dewa Gitar" di negerinya, Kanada. Kini, ia justru menyerukan agar
kaum Muslim sesedikit mungkin mendengarkan petikan gitar, karena "terlalu
banyak musik akan menutup hati dari seruan Allah."
Philips
menyatakan, larangan itu bukan hanya untuk gitar, tapi semua aliran musik.
"Hati yang diisi dengan musik tidak akan memiliki ruang untuk kata-kata
Tuhan," tulisnya dalam bukunya, Contemporary Issues. Buku ini membahas persoalan-persoalan
aktual umat islam, mulai dari perkawinan anak di bawah umur, pemukulan istri,
poligami, dan membunuh kaum murtad, hingga homoseksualitas. Philips
berpendapat, Islam tidak melarang semua musik. Namun, musik yang dianjurkan
adalah yang dinyanyikan kaum pria dan anak perempuan belum dewasa. Lagu-lagunya
pun berisi konten yang dapat diterima umum. "Instrumen senar sebaiknya
dihindari," ia melanjutkan.
Philips
adalah imigran asal Jamaika. Masuk ke Kanada di usia 11 tahun, ia mengambil
pendidikan gitar. Ia bermain di klub malam selama belajar di Universitas Simon
Fraser di British Columbia.
Namanya makin terdongkrak setelah itu. Di puncak kepopulerannya, jiwanya
gelisah. Ia memutuskan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk musik negerinya dan
menyusul sang ayah yang juga tenaga ahli di Canadian Colombo Plan berpindah ke Malaysia,
menjadi penasihat menteri pendidikan. Di negeri jiran itu, ia dikenal sebagai
"Jimi Hendrix dari Sabah".
Tapi
setelah memeluk Islam pada tahun 1972, ia meletakkan gitarnya untuk selamanya.
Dalam biografi di situs web ia mengatakan, "ketika saya menjadi seorang
Muslim, saya merasa tidak nyaman melakukan hal ini dan menyerah baik secara
profesional maupun pribadi."Bagi banyak orang, musik menjadi sumber
hiburan dan harapan dari Allah. Musik membawa mereka untuk sementara, seperti
obat. "Quran, kata-kata Allah yang penuh dengan bimbingan, juga bisa
memainkan peran itu."
Dalam
bukunya, ia juga mengatakan wanita dewasa dilarang untuk bernyanyi. "Pria
lebih mudah terangsang daripada perempuan sebagai telah sepenuhnya
didokumentasikan oleh studi klinis Masters dan Johnson. " Tetapi Institut
Islam Toronto mengatakan pada situs webnya yang banyak sarjana tidak setuju
dengan penafsiran itu, dan mempertimbangkan musik diperbolehkan asalkan tidak
mengandung "sensual, menduakan Tuhan, atau tema tidak etis dan pesan
subliminal. "Jadi untuk mengatakan bahwa semua musik dilarang dalam Islam
tampaknya tidak tepat. Islam menempatkan kehidupan dunia dan akhirat secara
seimbang," tulis situs ini.
Sohail
Raza, juru bicara Kongres Muslim Kanada, mengatakan klaim bahwa Islam tidak
mengijinkan musik adalah "benar-benar tak berdasar" dan benar-benar
merupakan upaya untuk mencegah imigran Muslim dari integrasi ke dalam
masyarakat Kanada. "Ini adalah orang-orang yang memiliki keengganan untuk
sukacita," kata Raza. "Kami memiliki situasi yang sangat menyedihkan
dimana orang-orang seperti Philips yang membawa hal-hal dalam Islam yang
benar-benar tidak benar, dan menumbuhsuburkan Islamophobia."
Philips,
yang memiliki gelar dari Universitas Islam Madinah dan Universitas Riyadh, dan
mendirikan Universitas Islam Online, tinggal di Qatar tapi tetap menjadi
pembicara konferensi yang populer di Kanada. Dia memberikan kuliah tentang
"musik dan kencan" di sebuah masjid Toronto April lalu. Dalam video online-nya,
mantan musisi panggilan musik kecanduan jahat. "Intinya adalah bahwa jika
musik itu bermanfaat, maka musisi akan menunjukkan manfaat yang dalam hidup
mereka," katanya dalam sebuah video YouTube.
"Apa
yang Anda lihat justru adalah bahwa beberapa elemen yang paling korup
masyarakat yang ditemukan di antara para musisi. Obat-obatan, penyimpangan dan
homoseksualitas, hal ini jenis dan semua korupsi yang ada di sana, orang bunuh diri, "katanya.
"Kenyataannya adalah bahwa hal itu sebenarnya tidak membawa sisi, jahat
gelap yang memproduksi jenis korupsi antara mereka sendiri dan, pada akhirnya,
berakhir sampai merusak elemen masyarakat."
Sumber : republika
Jermaine Jackson,
ISLAM MEBUATKU YAKIN AKAN AGAMA
Persentuhan Jermaine dengan
agama Islam bermula dari kunjungannya ke beberapa negara di Timur Tengah.
Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka tur promo musik yang dilakukan
bersama saudara perempuannya. Salah satu negara yang dikunjunginya adalah Bahrain. Selama
di Bahrain, diakui Jermaine, dia merasa nyaman. ''Kami diterima dengan hangat
oleh masyarakat di sana.
Bahkan, saya sempat bertemu dan mengobrol dengan anak-anak Bahrain tentang
segala hal,'' paparnya.
Pada saat melakukan interaksi
inilah anak-anak tersebut menanyakan perihal agama kepada musisi kelahiran Gary, Indiana,
Amerika Serikat, 11 Desember 1954. Dengan spontan Jermaine menjawab bahwa ia
adalah seorang pemeluk Kristen. Sebaliknya, pertanyaan serupa juga dilontarkan
Jermaine kepada anak-anak tersebut, yang dijawab mereka dalam satu suara,
Islam. Jawaban tersebut sontak membuatnya terheran-heran. Kemudian anak-anak
tersebut, ungkap Jermaine, menceritakan kepadanya tentang Islam. Para bocah kecil itu memberikan informasi seputar Islam
sesuai dengan pemahaman yang dimiliki anak seusia mereka. ''Suara mereka
memperlihatkan kepada saya bahwa mereka sangat bangga terhadap Islam. Bermula
dari sinilah saya tertarik untuk mengenal Islam lebih jauh.''
Tidak lama berselang setelah
kunjungannya ke Bahrain,
Jermaine memutuskan untuk menemui para cendekiawan dan ulama Muslim dan belajar
mengenai Islam dengan mereka. Berbagai tanda tanya besar dan keraguan akan
keyakinan yang dianutnya selama ini memenuhi pikirannya saat itu. Bagaimana mungkin
selama ini dia bisa meyakini kitab suci yang ternyata kitab itu disusun oleh
banyak orang. Demikian juga dengan penjelasan mengenai hakikat Tuhan yang tidak
banyak ia temukan dalam Kitab Injil.
Jermaine berusaha untuk
menghibur dirinya sendiri. Tetapi, semua usahanya ini tidak berhasil. Yang
terjadi justru sebaliknya, ia semakin yakin untuk beralih ke Islam.
Keinginannya tersebut ia sampaikan kepada salah seorang teman keluarganya yang
kebetulan seorang Muslim, Qunber Ali. Atas ajakan Qunber, akhirnya Jermaine
pergi mengunjungi Riyadh,
ibu kota Arab
Saudi. Dari Riyadh, atas undangan pihak keluarga Kerajaan Arab Saudi, Jermaine
melanjutkan perjalanan menuju Mekkah untuk melakukan umrah. ''Saat itu saya
belum mengetahui banyak mengenai Islam. Tetapi, untuk pertama kalinya saya
sampaikan kepada publik bahwa saya telah menjadi Muslim,'' ujarnya.
Selama menetap di Arab Saudi,
Jermaine banyak mempelajari tentang Islam dari kitab suci Al-Qur'an. Selain
itu, ia juga berguru kepada para ulama setempat. Tidak hanya dari para ulama,
pengetahuan mengenai Islam juga ia dapatkan dengan mendengarkan kaset-kaset
yang dirilis oleh penyanyi pop asal Inggris, Cat Stevens, yang telah menjadi
seorang mualaf dan mengganti namanya menjadi Yusuf Islam. ''Saya belajar banyak
dari lagu-lagu dia (Yusuf Islam),'' tukas anak keempat dari sembilan bersaudara
keluarga musisi Jackson.
Setelah masuk Islam, diakui
Jermaine, dirinya merasa seperti dilahirkan kembali. Ia menemukan jawaban atas
berbagai pertanyaan yang selama ini tidak bisa ia temukan dalam ajaran Kristen.
Menurutnya, hanya Islam yang benar-benar memberikan jawaban yang memuaskan atas
pertanyaannya mengenai kelahiran Yesus. Dan, untuk pertama kalinya, ungkap
Jermaine, dia merasa yakin dengan apa yang namanya agama. Sekembalinya ke
Amerika Serikat, Jermaine menemukan kondisi pahit mengenai Islam. Media-media massa di negaranya pada
saat itu sedang gencar-gencarnya melakukan propaganda kejam terhadap Islam dan
umat Islam. Bahkan, ia sempat menjadi salah satu sasaran dari propaganda yang
dilancarkan oleh media massa
di Amerika. Sentimen negatif terhadap Islam dan pemeluknya juga dilancarkan
oleh rekan-rekannya sesama seniman dan artis Hollywood. Kalangan Hollywood tersebut kerap
menjelek-jelekan umat Islam dengan menuduh mereka sebagai sekelompok teroris
dengan tanpa alasan yang jelas.
Untuk menghapus stigma
negatif itu, sebagai seorang Muslim, Jermaine melakukan berbagai upaya agar apa
yang digambarkan oleh kalangan media massa
di Amerika mengenai Islam dan pemeluknya adalah salah. Pengertian yang sama
juga ia sampaikan kepada seluruh anggota keluarganya. ''Setelah menjadi Muslim,
saya merasakan adanya perubahan besar di dalam diri saya. Saya mulai
meninggalkan semua hal yang dilarang dalam Islam. Dan, ini tentunya sulit
diterima oleh keluarga. Terlebih lagi setelah berbagai macam kecaman
dilayangkan kepada keluarga besarnya.''
Dari pihak keluarga, yang
pertama kali menegur Jermaine adalah sang ibu, Catherine Jackson. ''Kamu
(telah) mengambil keputusan ini secara tiba-tiba, atau telah memikirkannya
masak-masak?'' ujar Jermaine mengutip perkataan Catherine kala itu. Kepada
ibunya, Jermaine dengan tegas menjawab bahwa semua keputusan ini ia ambil
setelah berpikir panjang. Dengan keputusannya masuk Islam, keluarganya menilai
bahwa ia telah memelihara rasa permusuhan di kalangan masyarakat Amerika.
Namun, Jermaine merasa yakin kalau keluarganya tidak akan bersikap sama dengan
orang-orang Amerika pada umumnya, karena dia tumbuh dan dibesarkan di
lingkungan keluarga yang cukup demokratis dan terbuka dengan adanya perbedaan.
''Kami menghargai semua
agama, karena itu mengapa keluarga Jackson
merasa nyaman berteman dengan orang-orang dari berbagai agama. Dengan alasan
itu juga, mereka bisa menerima keputusanku,'' terang Jermaine. Tidak hanya kedua
orangtua dan saudara-saudaranya yang bisa menerima keyakinan baru Jermaine,
tetapi juga ketujuh orang anak laki-lakinya serta dua anak perempuannya dan
istrinya. Bahkan mereka, ungkap Jermaine, mengikuti jejaknya menjadi seorang
Muslim. Dari empat orang perempuan, tiga orang di antaranya ia nikahi secara
resmi, Jermaine memiliki sembilan orang anak.
Dari mantan istrinya, Hazel
Gordy, ia memperoleh dua anak (Jermaine La Jaune Jackson Jr dan Autumn
Jackson). Dari Margaret Maldonado yang tidak ia nikahi, Jermaine memiliki dua
anak (Jeremy Maldonado Jackson dan Jourdynn Michael Jackson). Sementara dari
mantan istrinya yang kedua, Alejandra Genevieve Oaziaza, ia mendapatkan tiga
anak (Donte Jackson, Jaffar Jackson, dan Jermajesty Jackson). Sedangkan dari
istrinya sekarang, Halima Rashid, ia mendapatkan dua anak.
Dari Republika Online
Muallaf Muhammad Ali
Bersyahadat di atas Ring
Islam
membawanya pada kedamaian dan kepercayaan diri yang tinggi.
Bagi penggemar tinju dunia, tentu tak asing dengan nama Muhammad Ali, mantan juara dunia kelas berat tiga kali. Di masanya, Ali terkenal sebagai seorang petinju yang sangat ditakuti oleh lawan-lawannya. Dan, ia pun dijuluki sebagai The Greatest (terbesar). Sebab, dia mampu menaklukkan peitnju-petinju terbesar di zamannya, seperti George Foreman, Sony Liston, Joe Frazier, dan lainnya. Bahkan, pertarungannya melawan Foreman serta Joe Frazier menjadi pertarungan terbaik sepanjang abad ke-20. Dan, Ali pun juga dinobatkan sebagai seorang petinju terbesar di abad 20.
Nama sebagai 'Yang Terbesar' ini disematkan padanya sejak ia mengalahkan para petinju yang juga memiliki nama besar. Karena kemampuannya mengalahkan para petinju itu, ia pun menggunakan nama 'Yang Terbesar' (The Greatest) tersebut. Ali juga dikenal sebagai petinju terbaik pada masanya. Ia pernah menjadi sebuah mesin pemukul yang sangat hebat hingga menimbulkan rasa takut pada lawannya. Sebelum berganti nama menjadi Muhammad Ali, ia bernama Cassius Marcellus Clay Junior. Hingga kini, namanya dianggap sebagai petinju terbaik yang pernah dimiliki publik Amerika Serikat dan orang kulit hitam. Kesuksesannya merebut gelar juara dunia menempatkannya pada deretan atlet terbesar abad ke-20. Bahkan, gelar itu mengubah status pandangan masyarakat terhadap orang dan atlet kulit hitam. Keberhasilannya itu pun yang akhirnya mengangkat martabat para atlet kulit hitam ke tempat yang tinggi dengan penghormatan dan penerimaan yang baik dari masyarakat kulit putih dan hitam.
Ali dilahirkan pada 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Daerah yang dikenal dengan ayam goreng khasnya ini juga terkenal dengan perbedaan etnis yang kental. Ayahnya, Cassius Marcellus Clay Sr, adalah pelukis papan nama dan reklame. Ibunya, Odessa Grady Clay, seorang pembantu rumah tangga. Sejak kecil, Clay sudah merasakan perbedaan perlakuan karena warna kulitnya yang cokelat. Barangkali, hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk belajar tinju agar bisa membalas perlakuan jahat teman-temannya yang berkulit putih. Ketika belum genap berusia 20 tahun, ia sudah memenangkan pertandingan kelas berat di Olimpiade Roma tahun 1960.
Bagi penggemar tinju dunia, tentu tak asing dengan nama Muhammad Ali, mantan juara dunia kelas berat tiga kali. Di masanya, Ali terkenal sebagai seorang petinju yang sangat ditakuti oleh lawan-lawannya. Dan, ia pun dijuluki sebagai The Greatest (terbesar). Sebab, dia mampu menaklukkan peitnju-petinju terbesar di zamannya, seperti George Foreman, Sony Liston, Joe Frazier, dan lainnya. Bahkan, pertarungannya melawan Foreman serta Joe Frazier menjadi pertarungan terbaik sepanjang abad ke-20. Dan, Ali pun juga dinobatkan sebagai seorang petinju terbesar di abad 20.
Nama sebagai 'Yang Terbesar' ini disematkan padanya sejak ia mengalahkan para petinju yang juga memiliki nama besar. Karena kemampuannya mengalahkan para petinju itu, ia pun menggunakan nama 'Yang Terbesar' (The Greatest) tersebut. Ali juga dikenal sebagai petinju terbaik pada masanya. Ia pernah menjadi sebuah mesin pemukul yang sangat hebat hingga menimbulkan rasa takut pada lawannya. Sebelum berganti nama menjadi Muhammad Ali, ia bernama Cassius Marcellus Clay Junior. Hingga kini, namanya dianggap sebagai petinju terbaik yang pernah dimiliki publik Amerika Serikat dan orang kulit hitam. Kesuksesannya merebut gelar juara dunia menempatkannya pada deretan atlet terbesar abad ke-20. Bahkan, gelar itu mengubah status pandangan masyarakat terhadap orang dan atlet kulit hitam. Keberhasilannya itu pun yang akhirnya mengangkat martabat para atlet kulit hitam ke tempat yang tinggi dengan penghormatan dan penerimaan yang baik dari masyarakat kulit putih dan hitam.
Ali dilahirkan pada 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Daerah yang dikenal dengan ayam goreng khasnya ini juga terkenal dengan perbedaan etnis yang kental. Ayahnya, Cassius Marcellus Clay Sr, adalah pelukis papan nama dan reklame. Ibunya, Odessa Grady Clay, seorang pembantu rumah tangga. Sejak kecil, Clay sudah merasakan perbedaan perlakuan karena warna kulitnya yang cokelat. Barangkali, hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk belajar tinju agar bisa membalas perlakuan jahat teman-temannya yang berkulit putih. Ketika belum genap berusia 20 tahun, ia sudah memenangkan pertandingan kelas berat di Olimpiade Roma tahun 1960.
Pada usia 22
tahun, ia merasa dilahirkan kembali ke dunia. Sebab, saat itulah, ia berganti
nama dari Cassius Marcellus Clay Junior menjadi Muhammad Ali. Nama ini merupakan
pemberian seorang tokoh Muslim dari Nation of Islam (NOI),
Elijah Muhammad, tahun 1964. Ketika itu, Elijah membuat sebuah pernyataan umum
dalam suatu siaran radio dari Chicago,
''Nama Clay ini tidak menyiratkan arti ketuhanan. Saya harap dia akan menerima
dipanggil dengan nama yang lebih baik. Muhammad Ali, nama yang akan saya
berikan kepadanya selama dia beriman kepada Allah dan mengikuti saya.'' Selama
tiga tahun sebelum pertarungannya untuk memperebutkan gelar juara dunia kelas
berat dengan Sonny Liston, Clay telah menghadiri pertemuan-pertemuan yang
diadakan oleh NOI. Kehadiran Ali
diberitakan oleh koran Daily Nezus di Philadelphia pada September 1963. Pada
Januari 1964, dia membuat sensasi besar dengan berbicara di sebuah rapat Muslim
di New York.
Beberapa minggu kemudian, ayahnya mengatakan bahwa Clay telah bergabung dengan NOI. Kendati demikian, Clay belum memberikan pernyataan publik tentang keikutsertaannya dalam NOI. Tetapi, dia sibuk mempelajari Islam di bawah bimbingan Kapten Sam Saxon (sekarang Abdul Rahman) yang dijumpai Clay di Miami pada 1961. Clay juga merenungkan ajaran-ajaran Elijah Muhammad dan membaca surat kabar yang diterbitkan NOI. Di samping itu, ia juga mencari bimbingan dan saran dari Malcolm X--tokoh NOI lainnya--yang dijumpainya di Detroit pada awal 1962.
Sebelum pertandingan Clay melawan Liston, Malcolm mengunjungi Clay sebagai pribadi, bukan sebagai wakil Elijah. Malcolm menganggap Clay sebagai adiknya dan menasihati dia. Nasihat Malcolm ini justru menjadi pemicu semangatnya untuk bertekad mengungguli Liston. Walaupun merasa sangat takut menghadapi Liston, akhirnya Clay menang dalam pertandingan. Pertandingan tersebut berakhir sebelum bel ronde ketujuh berbunyi. Dengan kemenangan tersebut, dunia memiliki seorang juara baru di arena tinju.
Agama rasional
Kemenangan tersebut diyakininya merupakan 'waktu Allah'. Di antara tepuk riuh para pendukung dan kilatan-kilatan lampu kamera, Clay berdiri di depan jutaan penonton yang mengelilingi ring dan kamera TV. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengumumkan pergantian namanya menjadi Muhammad Ali Clay. ''Aku meyakini bahwa aku sedang berada di depan sebuah kebenaran yang tak mungkin berasal dari manusia,'' ujarnya. Ali mengungkapkan, kepindahannya ke agama Islam adalah hal yang wajar dan selaras dengan fitrah yang Allah ciptakan untuk manusia. Ia meyakini bahwa Islam membawa kebahagiaan untuk semua orang. Menurutnya, Islam tidak membeda-bedakan warna kulit, etnis, dan ras. ''Semuanya sama di hadapan Allah SWT. Yang paling utama di sisi Tuhan mereka adalah yang paling bertakwa.''
Ia membandingkan ajaran Trinitas dengan ajaran Tauhid dalam Islam. Menurutnya, Islam lebih rasional. Karena, tidak mungkin tiga Tuhan mengatur satu alam dengan rapi seperti ini. Hal tersebut dinilainya sebagai suatu hal yang mustahil terjadi dan tidak akan memuaskan orang yang berakal dan mau berpikir. Keyakinannya terhadap Islam makin bertambah manakala Ali membaca terjemahan Alquran. ''Aku bertambah yakin bahwa Islam adalah agama yang hak, yang tidak mungkin dibuat oleh manusia. Aku mencoba bergabung dengan komunitas Muslim dan aku mendapati mereka dengan perangai yang baik, toleransi, dan saling membimbing. Hal ini tidak aku dapatkan selama bergaul dengan orang-orang Nasrani yang hanya melihat warna kulitku dan bukan kepribadianku,'' paparnya.
Sejak saat itu, ia membelanjakan uangnya beberapa ratus ribu dolar untuk buku-buku dan pamflet-pamflet Islami supaya dapat memperkenalkan agama barunya. Dia percaya bahwa bukan hanya kaum Muslim, tetapi juga orang Kristen dan Yahudi yang takut pada Tuhan akan masuk surga.
Ketika para
dokter di AS memvonisnya dengan penyakit Sindroma Parkinson, Ali mengatakan
bahwa dia telah mendapatkan hidup yang baik sebelumnya dan sekarang. Dia tidak
membutuhkan simpati dan belas kasihan. Dia hanya ingin menerima kehendak Allah
SWT. Penyakitnya ini, menurut dia, merupakan cara Allah SWT merendahkannya
untuk mengingatkannya pada kenyataan bahwa tak ada seorang pun yang lebih hebat
dari Allah. Perjuangan Ali yang utama sekarang adalah mencoba menyenangkan
Allah dalam segala hal yang diperbuatnya. Menguasai dunia tidak membawanya
kepada kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan sejati, katanya, hanya didapatkan
dengan menyembah Allah. Kini, dia termasuk orang-orang yang giat berdakwah di Amerika
dan aktif mengampanyekan solidaritas dan persamaan hak. dia/sya/berbagai sumber
Dengan sikap yang tegar, kuat, dan penuh percaya diri, ternyata Muhammad Ali merupakan seorang penganut tasawuf (sufi) yang sangat baik. Putri Muhammad Ali yang bernama Hanna Yasmeen Ali, buah perkawinannya dengan Veronica Porche Ali, dalam sebuah wawancara dengan Beliefnet, mengungkapkan kehidupan dan spiritualitas Muhammad Ali. Hanna mengatakan, ayahnya adalah orang yang sangat taat dalam menjalankan perintah agama. Bahkan, ia tak segan-segan untuk bersikap keras dan tegas terhadap anggota keluarganya yang tidak mau menjalankan perintah Allah. Sikap ini dibuktikan Ali dengan menceraikan istrinya yang pertama, Sonji Roi, pada tahun 1966. Karena, menurut Ali, istrinya tersebut tidak menunjukkan sikap sebagai seorang Muslim.
Hanna menambahkan, ayahnya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. ''Sesibuk apa pun, ayah akan senantiasa mengerjakan shalat lima waktu,'' ujar Hanna.Bahkan, Ali juga senantiasa berupaya melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah di masjid. ''Walaupun jaraknya membutuhkan waktu hingga 20 menit perjalanan, ayah akan selalu berupaya pergi ke masjid. Namun, ketika penyakit parkinson menghinggapi, ayah memang sekarang jarang ke masjid,'' jelas Hanna. Hanna menambahkan, ayahnya juga seorang penganut sufi yang taat. Ali punya koleksi buku tasawuf karya Hazrat Inayat Khan, seorang guru sufi. ''Spiritualitas ayah saya sangat tinggi. Dari sikapnya yang sangat religius itu, ia praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, menyayangi sesama, melakukan kegiatan sosial, dan mendorong banyak orang untuk senantiasa rajin mendekatkan diri kepada Tuhan,'' terangnya.
Ketika terjadi peristiwa 11 September 2001 akibat serangan teroris terhadap dua menara kembar World Trade Center (WTC) hingga memunculkan tuduhan terhadap Islam sebagai agama teroris, Ali pun tampil ke publik dan menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan oknum dan bukan Islam. Ia menyatakan, aksi tersebut merupakan perbuatan orang-orang yang keliru dalam memahami Islam secara benar. ''Islam adalah agama yang damai dan cinta akan kedamaian,'' terangnya.
republikaonline
Dengan sikap yang tegar, kuat, dan penuh percaya diri, ternyata Muhammad Ali merupakan seorang penganut tasawuf (sufi) yang sangat baik. Putri Muhammad Ali yang bernama Hanna Yasmeen Ali, buah perkawinannya dengan Veronica Porche Ali, dalam sebuah wawancara dengan Beliefnet, mengungkapkan kehidupan dan spiritualitas Muhammad Ali. Hanna mengatakan, ayahnya adalah orang yang sangat taat dalam menjalankan perintah agama. Bahkan, ia tak segan-segan untuk bersikap keras dan tegas terhadap anggota keluarganya yang tidak mau menjalankan perintah Allah. Sikap ini dibuktikan Ali dengan menceraikan istrinya yang pertama, Sonji Roi, pada tahun 1966. Karena, menurut Ali, istrinya tersebut tidak menunjukkan sikap sebagai seorang Muslim.
Hanna menambahkan, ayahnya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. ''Sesibuk apa pun, ayah akan senantiasa mengerjakan shalat lima waktu,'' ujar Hanna.Bahkan, Ali juga senantiasa berupaya melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah di masjid. ''Walaupun jaraknya membutuhkan waktu hingga 20 menit perjalanan, ayah akan selalu berupaya pergi ke masjid. Namun, ketika penyakit parkinson menghinggapi, ayah memang sekarang jarang ke masjid,'' jelas Hanna. Hanna menambahkan, ayahnya juga seorang penganut sufi yang taat. Ali punya koleksi buku tasawuf karya Hazrat Inayat Khan, seorang guru sufi. ''Spiritualitas ayah saya sangat tinggi. Dari sikapnya yang sangat religius itu, ia praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, menyayangi sesama, melakukan kegiatan sosial, dan mendorong banyak orang untuk senantiasa rajin mendekatkan diri kepada Tuhan,'' terangnya.
Ketika terjadi peristiwa 11 September 2001 akibat serangan teroris terhadap dua menara kembar World Trade Center (WTC) hingga memunculkan tuduhan terhadap Islam sebagai agama teroris, Ali pun tampil ke publik dan menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan oknum dan bukan Islam. Ia menyatakan, aksi tersebut merupakan perbuatan orang-orang yang keliru dalam memahami Islam secara benar. ''Islam adalah agama yang damai dan cinta akan kedamaian,'' terangnya.
republikaonline
Tidak ada komentar:
Posting Komentar